Al Arif merupakan Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Ketua IV DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Jakarta, Associate CSED INDEF, serta saat ini sebagai Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan
Dicari: Profesor yang Berani Menyuarakan Kebenaran
Jumat, 30 Mei 2025 18:59 WIB
Seorang profesor bukan hanya pengajar atau peneliti, tapi juga sosok yang berdiri di garis depan untuk menyuarakan kebenaran,
Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah/ Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia
Di tengah derasnya arus modernisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi, masyarakat kita cenderung melihat gelar akademik tertinggi—profesor—sebagai semata-mata simbol status dan prestise.
Gelar "Prof." yang melekat di depan nama seseorang sering kali diasosiasikan dengan kepintaran luar biasa, otoritas mutlak dalam bidangnya, dan kadang, jabatan struktural yang prestisius.
Namun sesungguhnya, menjadi profesor bukan sekadar menyandang titel akademik. Ia adalah panggilan intelektual, tanggung jawab moral, dan amanah sosial yang sangat besar.
Tulisan ini ingin mengajak kita semua, baik yang berada di dunia akademik maupun masyarakat luas, untuk memaknai kembali gelar profesor. Sebab di balik gelar itu tersimpan harapan besar bangsa untuk kemajuan ilmu, pendidikan, dan peradaban.
Pencerah dan Pemberi Arah Moral
Seorang profesor bukan hanya pengajar atau peneliti, tapi juga sosok yang berdiri di garis depan untuk menyuarakan kebenaran, mendorong pencerahan, dan memberi arah moral bagi masyarakat.
Dalam tradisi akademik klasik, seorang profesor diharapkan menjadi figur panutan intelektual. Ia tidak hanya menyampaikan ilmu, tapi juga menumbuhkan semangat berpikir kritis, mendorong diskursus ilmiah, dan menjaga integritas pengetahuan. Di banyak negara maju, profesor dihormati bukan karena gelarnya semata, tetapi karena kontribusinya dalam membangun keilmuan dan menginspirasi perubahan sosial.
Di Indonesia, gelar profesor merupakan jenjang akademik tertinggi yang diberikan oleh negara melalui kementerian baik oleh Kemdiktisaintek ataupun Kemenag. Gelar ini bukan sekadar hasil dari pendidikan formal, melainkan buah dari dedikasi panjang dalam dunia pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Seseorang tidak bisa serta merta menyebut dirinya profesor tanpa melalui proses akademik yang ketat: menulis karya ilmiah bereputasi, membimbing mahasiswa, mengajar, hingga aktif dalam kegiatan ilmiah nasional maupun internasional.
Namun dalam praktiknya, gelar profesor di Indonesia kerap kali terjebak dalam simbolisme dan birokratisasi. Tidak jarang gelar ini dijadikan sebagai alat legitimasi politik, posisi struktural, atau bahkan status sosial. Akibatnya, makna luhur di balik gelar profesor sebagai pendidik, peneliti, dan penjaga moralitas ilmu menjadi kabur.
Profesor sejatinya adalah guru bangsa—pemikir yang mampu menjembatani ilmu dan kebijakan, menghubungkan laboratorium dan lapangan, serta menyuarakan aspirasi rakyat dalam ruang akademik. Di masa lalu, kita mengenal banyak sosok profesor yang menjadi pemimpin pemikiran dan gerakan.
Mereka tidak hanya terpaku dalam ruang kelas atau jurnal ilmiah, tetapi aktif menyuarakan isu-isu kemanusiaan, keadilan, dan perubahan sosial. Gagasan mereka mengguncang status quo dan menjadi bahan bakar bagi gerakan mahasiswa, perubahan kebijakan, hingga arah pembangunan bangsa.
Terjebak Zona Nyaman
Bandingkan dengan kondisi sekarang, di mana tidak semua profesor bersuara atas ketidakadilan atau kekacauan kebijakan. Sebagian terjebak dalam zona nyaman akademik atau bahkan menjadi bagian dari oligarki kekuasaan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan.
Era digital dan revolusi industri 4.0 membawa tantangan besar bagi profesi akademik, termasuk para profesor. Informasi kini melimpah ruah dan tidak semua bisa dipertanggungjawabkan.
Di tengah situasi ini, masyarakat justru semakin membutuhkan kehadiran profesor sebagai penjernih informasi, pelurus hoaks, dan penyambung akal sehat publik.
Namun, tantangan menjadi profesor di era kini tidak kecil. Pertama, tekanan administratif dalam dunia akademik yang seringkali menyita waktu produktif para dosen dan peneliti. Kedua, minimnya insentif dan dukungan riset yang membuat banyak akademisi kesulitan menghasilkan karya inovatif. Ketiga, budaya akademik yang belum sepenuhnya sehat, di mana plagiarisme, publikasi instan, dan perburuan angka indeks sering kali menggeser esensi keilmuan.
Profesor yang sejati bukanlah mereka yang sibuk mengejar H-Index atau jabatan rektorat, melainkan mereka yang terus berpikir kritis, bersuara untuk publik, dan konsisten pada nilai-nilai kebenaran.
Kembalilan Marwah Profesor
Untuk memulihkan marwah gelar profesor, kita memerlukan perubahan paradigma. Pertama, perlu ada kesadaran bahwa gelar profesor bukanlah puncak karier, melainkan awal dari pengabdian yang lebih luas.
Kedua, institusi perguruan tinggi harus menata ulang sistem apresiasi agar tidak melulu berbasis angka, tapi juga kualitas dan dampak sosial dari karya akademik.
Ketiga, masyarakat perlu dididik untuk tidak mengkultuskan gelar, melainkan menilai integritas dan kontribusi nyata dari seorang akademisi.
Selain itu, profesor juga perlu lebih banyak hadir di ruang publik. Mereka tidak cukup hanya menulis jurnal ilmiah, tetapi juga perlu menyampaikan gagasan melalui media massa, diskusi publik, hingga media sosial. Di era demokrasi digital ini, suara profesor sangat dibutuhkan untuk melawan banalitas, politisasi ilmu, dan penyempitan wacana publik.
Menjadi profesor adalah pilihan hidup. Ia menuntut dedikasi, keberanian, dan integritas. Di tengah berbagai tekanan, profesor dituntut untuk tetap menjadi penjaga akal sehat bangsa, pembela ilmu pengetahuan, dan pembawa harapan.
Seorang profesor seharusnya mampu memainkan empat peran sekaligus. Peran pertama sebagai pendidik sejati yang menanamkan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan pemikiran kritis kepada mahasiswanya.
Peran kedua sebagai peneliti yang visioner yang tidak hanya mengejar publikasi, tetapi menghasilkan solusi atas masalah bangsa.
Peran ketiga sebagai pengabdi masyarakat yang turun ke akar rumput, membaur dengan masyarakat, dan mendengar denyut kebutuhan rakyat. Peran keempat sebagai penjaga moral ilmu yang berani menolak manipulasi data, melawan korupsi akademik, dan menyuarakan kebenaran meski pahit.
Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, kita membutuhkan lebih banyak profesor yang tidak hanya ahli, tapi juga rendah hati; tidak hanya pintar, tapi juga bijak; tidak hanya publikatif, tapi juga reflektif.
Gelar profesor harus kita kembalikan pada fitrahnya yaitu sebagai simbol tanggung jawab intelektual dan amanah sosial. Dengan begitu, profesor tidak lagi hanya menjadi menara gading, tetapi mercusuar peradaban.
Kita bermimpi akan hadir lebih banyak profesor yang menjadi referensi moral bangsa, bukan sekadar ahli di bidangnya. Kita berharap akan tumbuh generasi profesor yang tidak hanya duduk di podium seminar, tapi juga turun tangan membenahi realitas sosial.
Menjadi profesor bukan sekadar urusan gelar, jabatan, atau angka kredit. Ia adalah pilihan jalan sunyi untuk menjaga cahaya ilmu, memperjuangkan kebenaran, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Gelar ini mengandung amanah besar—sebuah janji untuk terus belajar, berbagi, dan membimbing.
Di tengah krisis moral, banjir informasi, dan disrupsi global, bangsa ini memerlukan lebih banyak profesor yang berani berdiri tegak, menyuarakan kebenaran, dan menjadi penjaga akal sehat publik.
Maka, mari kita muliakan gelar profesor bukan karena prestisenya, tetapi karena dedikasi dan perjuangannya. Sebab, profesor sejati bukan sekadar gelar—ia adalah panggilan jiwa.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahan Pangan, Ketua IV DPW IAEI Jakarta, dan Associate CSED INDEF
3 Pengikut

Penempatan Dana Rp200 Triliun, Stimulus 8+4+5 dan Pertumbuhan Ekonomi
Selasa, 23 September 2025 10:20 WIB
Menanti Kemerdekaan Ekonomi Sejati
Selasa, 19 Agustus 2025 15:14 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler